Gerakan Pemuda Sosial Polman

Gerakan Pemuda Sosial Polman

Minggu, 29 Januari 2012

ABSTRAK PENELITIAN

ABSTRAK

Haeruddin. L 241 08 275. Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maros (Studi Kasus Desa Pajjukukang Kecamatan Bontoa. Di bawah bimbingan Andi Adri Arief sebagai pembimbing utama dan Djumran Yusuf sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai kelembagaan lokal yang terdapat pada masyarakat pesisir di Kabupaten Maros yang mempunyai hubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap serta mengetahui persepsi dan aspirasi masyarakat terhadap nilai-nilai kelembagaan lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu bulan Oktober sampai bulan Desember di Desa Pajjukukang Kec. Bontoa Kab. Maros. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif (qualitatif research) yang berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya, sehingga sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Penekanan penelitian kualitatif dimaksudkan untuk meneliti kondisi subjek, dengan mencari dan menemukan informasi melalui pengkajian kasus yang terbatas namun mendalam dengan penggambaran secara holistik. Pendekatan kualitatif mencirikan makna kaulitas yang menunjuk pada segi alamiah dan tidak menggambarkan perhitungan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Nilai-nilai kelembagaan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap tergambarkan dalam pranata hubungan sosial kekerabatan, pranata Agama dan Kepercayaan (Mitos, Ritus, Fetis, Kultus, dan Magis) serta pranata larangan/pantangan (nakasa’). Sedangkan nilai-nilai kelembagaan lokal dipersepsikan masyarakat sangat menunjang dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap karena mengandung motif keselamatan (perlindungan dari Sang Pencipta) dan motif rezeki (ekonomi).

ABSTRACT

Haeruddin. L 241 08 275. "Local Institutional Review of Resources Utilization of Capture Fisheries in Maros regency (Case Study Village District Pajjukukang Bontoa." Under the guidance of Andi Adri Arief as primary mentors and tutors Djumran Yusuf as a member.

This study aims to determine the values ​​of local institutions found in coastal communities in Maros regency which has links with the utilization of fishery resources and to know the perceptions and aspirations of local institutional values ​​of the utilization of fisheries resources.

The research was conducted for 3 months, October to December in the Village District Pajjukukang Bontoa Maros regency. This study used qualitative research methods approach (qualitative research) are trying to construct reality and understand its meaning, so very concerned about processes, events and authenticity. The emphasis of qualitative research aimed to examine the condition of the subject, by searching and finding information through case studies with a limited but profound depiction holistically. Qualitative approach characterizes kaulitas meaning which refers to natural and does not describe the terms of the calculation.

Based on research results obtained that the values ​​of local institutions in the utilization of fishery resources represented in the social relations of kinship institutions, institutions of Religion and Belief (Myths, Rites, fetishes, Cult, and Magic) as well as the order of prohibition / abstinence (nakasa '). While the values ​​of local institutions perceived as very supportive community in the utilization of fisheries resources because they contain motifs safety (protection of the Creator) and the motive provision (the economy).

Senin, 06 Juni 2011

KAWASAN KONSERVASI LAUT

A. Definisi Kawasan Konservasi Laut

Definisi kawasan konservasi laut menurut IUCN (1988) dalam Supriharyono (2007) adalah suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, plora, fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya, dan telah dilindungi oleh hukum dan peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut. Menurut Begen (2002) bahwa salah satu upaya perlindungan ekosistem pesisir dan laut adalah dengan menetapkan suatu kawasan di pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi.

Kawasan Konservasi Laut merupakan wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya didalamnya yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Direktorat Konsevasi dan Taman Nasional Laut Ditjen KP3K, DKP, 2006).

Secara khusus pengertian Konservasi wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut UU No 27 Tahun 2007 adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekargamannya. Dalam hal ini sebagai sebuah kawasan konservasi dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Lebih lanjut di dalam UU No. 27 Tahun 2007 tersebut pada Bagian Ketiga tentang Konservasi Pasal 28 ayat (1) dikatakan bahwa Konservasi Wilayah pesisir dan Pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk : (a) menjaga kelestarian eksositem pesisir dan pulau-pulau kecil; (b) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (c) melindungi habitat biota; dan (d) melindungi situs budaya tradisional. Proses pembentukan kawasan konservasi laut menurut Departemen Kelautan dan Perikan (DKP) didasarkan pada kriteria yang diadopsi dan dimodifikasi dari kawasan konservasi berdasarkan IUCN. Kriteria yang dinila terdiri dari kelengkapan spesies/habitat, luas kawasan, peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi serta pengaruh aktivitas manusia. Penentuan status kawasan konservasi terdiri dari 2 tahap yaitu (1) analisis kelayakan kawasan berdasarkan kriteria KKL, (2) penentuan kategori KKL berdasarkan prioritas obyek pengelolaan yang sesuai untuk masing-masing kategori. Kriteria kategori yang digunakan untuk menetapkan KKLD dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Kategori

Kriteria

I

(Konservasi Ekosistem dan Rekreasi)

1. Kelengkapan sumberdaya alam/spesies/habitat

2. Kawasan cukup luas

II

(Konservasi Habitat dan Spesies)

1. Mempunyai peranan penting terhadap perlindungan sumberdaya alam dan jenis (kelengkapan ekosistem)

2. Kesatuan habitat

3. Bebas pengaruh manusia

4. Ukuran kawasan sesuai dengan kebutuhan habitat

III

(Konservasi Bentang Alam dan Rekreasi)

1. Memiliki bentang alam yang berasosiasi dengan habitat (flora dan fauna)

2. Peluang untuk pengembangan pariwisata dan rekreasi

IV

(Pemanfaatan Secara Lestari Ekosistem Alami)

1. Dua pertiga dari kawasan masih alami

2. Kemampuan kawasan untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan kerusakan

3. Terdapat badan pengelola di kawasan tersebut.

Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi laut di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan (DPI, 2002).

Kawasan konservasi laut memungkinkan dikembang kannya langkah-langkah pengelolaan yang sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu, langkah-langkah pengelolaan tersebut berbeda dari yang selama ini dilaksanakan semisal kuota, peraturan tentang sarana tangkap dan izin bagi operator di bidang industri pariwisata, yang tidak bersifat khas daerah.

Kawasan konservasi laut memungkinkan dilakukan pemanfaatan secara khusus untuk kawasan-kawasan tertentu dan melakukan pelarangan terhadap pemanfaatan serupa untuk wilayah-wilayah disekitarnya. Misalnya, larangan penangkapan dapat dilakukan di wilayah-wilayah pemijahan, sementara itu penangkapan dengan alat tangkap sederhana (tradisional) masih dapat diijinkan untuk dilakukan di kawasan-kawasan di sekitar wilayah pemijahan tersebut. Izin kegiatan wisata selam dapat diberikan untuk hampir semua kawasan konservasi laut.

B. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut

Rokhmin Dahuri (2001) lebih menjelaskan mengenai definisi dan pengertian Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan menggunakan beberapa pemahaman: Definsi (1) “Proses Pengelolaan yang mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang terdapat diwilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut. Definisi ke (2) “adalah suatu proses penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan”. Definisi ke (3) “Suatu proses kontinu dan dinamis dalam penyusunan dan pengambilan keputusan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya”. Definisi ke (4) “Suatu proses kontinu dan dinamis yang mempersatukan/ mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat lokal dan LSM); dan kepentingan ilmiah dengan pengelolaan pembangunan dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu rencana terpadu untuk membangun (memanfaatkan) dan melindungi ekosistem pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya, bagi kemakmuran/kesejahteraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan.

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan (Gambar1).

Gambar 1. Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat

(Sumber: Dahuri et al (2001) yang telah dimodifikasi

Tahap Perencanaan

Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam, konflik penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut. Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional.

Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000). Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana

Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya. Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi sektoral, Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah: (1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2) pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Tahap Monitoring dan Evaluasi

Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada indikator keberhasilan Ko-manajemen perikanan. Menurut Dahuri et al (1998) Indikator keberhasilan Ko-manajemen adalah seperti pada Tabel Lampiran 1

Tabel 1. Indikator Keberhasilan Ko-manajemen

Kriteria

Indikator

Cara Mengukur

Tingkat penda­patan

Peningkatan relatif pen­dapatan masyarakat lokal

Secara kuantitatif membanding-kan pendapatan sebelum dan se­sudah dterapkan Ko-manajemen. Tingkat inflasi harus diperhitung­kan dengan melihat kualitas hidup masyarakat dalam memenuhi ke­butuhan primer dan sekunder

Pendidikan formal dan informal

Peningkatan jumlah ma­syarakat yang mengikuti pendidikan formal dan informal

Perbandingan jumlah relatif lu­lusan masyarakat lokal dari pen­didikan formal dan informal

Kesadaran masyarakat

Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab ma­syarakat dalam menjaga dan memelihara sumber daya alam

Semakin berkurangnya kegiatan yang bersifat merusak dan se­baliknya semakin banyak kegiatan yang menunjang kelestarian sum­ber daya alam

Motivasi

Meningkatnya motivasi masyarakat dalam proses pengelolaan

Semakin banyak usulan dan ke­inginan masyarakat yang disam­paikan dalam penyusunan peren­canaan dan pelaksanaan ko-manajemen dan semakin mening­katnya peranan masyarakat dalam proses-proses pengelolaan sumber daya alam

Kreativitas dan kemandirian

Meningkatnya bentuk dan variasi pemanfaatan sum­ber daya alam yang lestari oleh masyarakat

Jumlah dan variasi pemanfaatan sumber daya yang dilakukan ma­syarakat

Pengakuan hak

Diakuinya hukum tra­disional atau masyarakat lokal dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam

Jumlah dan intensitas pelaksanaan aturan lokal dan tradisional

Program kemitraan

Terbentuknya program kemitraan dalam peman­faatan sumber daya alam

Efisiensi dan intensitas program kemitraan dalam menunjang ke­giatan masyarakat lokal

Sumber : Dahuri et al (1998)

Kamis, 31 Maret 2011

Kondisi Sosial Ekonomi Perikanan Indonesia

KONDISI SOSIAL EKONOMI, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR, DAN KELEMBAGAAN PERIKANAN

A. Ciri dan Kodisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir, (Nikijuluw, 2003).

Masyarakat pesisir dalam hal ini nelayan lebih miskin dibanding petani karena disebabkan :

1. Tantangan alam yang dihadapi nelayan sangat berat termasuk factor alam.

2. Pola kerja yang homogen dan bergantug hanya satu pekerjaan.

3. Keterbatasan penguasaan modal, perahu dan alat tangkap.

4. Keadaan permukiman dan perumahan yang tidak memadai

5. Karakteristik social ekonomi belum mengarah pada sector jasa lingkungan seperti kegiatan wisata.

Kegiatan wisata sangat dibutuhkan dalam pengembangan dan peningkatan kondisi social ekonomi masyarakat pesisir. Hal ini dikarenakan pemanfaatan potensi wilayah pesisir dan laut masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini pula yang menyebabkan kondisi sumberdaya manusia di Negara kita ini masih rendah.

Tiga hal pokok yang menjadi indicator ketertinggalan dalam masyarakat pesisir :

1. Kemiskinan structural

Kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh factor atau variable eksternal individu. Variabelnya adalah struktur social ekonomi, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, teknologi, dan SDA.

2. Kemiskinan Superstruktural

Kemiskinan yang disebabkan karena variable kebijakan makro yang tidak atau kurang berpihak pada pembangunan masyarakat pesisir. Variabelnya adalah kebijakan fiscal dan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan. Kemiskinan ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah memiliki komitmen kuat dan tindakan untuk mensejahterakan masyarakat miskin.

3. Kemiskinan cultural

Kemiskinan yang disebabkan karena variable yang melekat dan menjadi gaya hidup tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan sulit keluar dari kemiskinan karena factor tersebut tidak disadari atau tidak diketahui. Variabelnya adalah tingkat pedidikan, pengetahuan, adat, budaya, dan kepercayaan.

Salah satu peyebab belum terkelolanya potesi wilayah pesisir dan laut secara optimal adalah karena system kelembagaan yang ada belum mendukung pengembangan sector kelautan.

Menurut Diraputra (2003) bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pembangunan ekonomi saat ini dan keberlanjutan pemanfaatan antargenerasi. Pengaturan wilayah pesisir dan laut telah ada sejak jaman penjajahan Belanda, namun sampai saat ini kondisi masyarakat pesisir masih terpuruk dan kurang mendapat perlindungan, kemiskinan masih bertambah, dan degradasi lingkungan pesisir dan laut semakin tampak.

Peranan hukum adalah menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat agar kehidupan dapat berlangsung dengan tertib dan teratur, selain itu hukum juga berfungsi menciptakan kepastian mengenai apa yang dilarang dan apa yang tidak dilarang, dan apa yang diperkenankan apabila telah dipenuhi persyaratan tertentu.

Namun dewasa ini kita sering melihat lemahnya hukum yang ditegakkan dinegara kita sehingga masih banyak perlakuan-perlakuan yang seharusnya tidak dilakukan sehingga banyak merusak system kehidupan.

Upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kepentinga kesejahteraan atau ekonomi dan kepentingan kelestarian atau ekologis tidak akan dapat dilakukan hanya oleh kalangan profesi hukum saja.

Masyarakat pesisir dan kepulauan yang umumnya adalah nelayan dapat memiliki prasarana yang memungkinkan mereka berinteraksi, sehingga membentuk ikatan yang mempersatukan mereka menjadi suatu kelompok yang masyarakat yang pola tingkah laku kehidupannya bersifat khas dan berkesinambungan sebagai adat istiadat.

Sejak dahulu masyarakat pesisir dan kepulauan sudah menjalankan aktivitasya berdasarkan pola kerja sama tradisional, dimana setiap daerah mempunyai system yang berbeda, contoh ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan, Sasi di Maluku dan masih banyak lagi. Pola kerja sama seperti diatas sangat mendukung dalam pegembangan ekowisata karena kelompok-kelompok tersebut telah mengetahui bagaimana cara menjaga dan melestarikan budaya sehingga kehidupan masyarakat pun tetap berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Pengembangan mata pencaharian alternative perlu mendapat perhatian karena sumberdaya pesisir dan perikanan telah banyak mengalami tekanan dan degradasi. Namun pengembangan mata pencaharia alternative bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pegolahan, pemasaran atau budidaya ikan, tetapi patutu diarahkan ke kegiata non perikanan, seperti eko wisata pesisir dan laut hal ini juga mendukung pendapat Sproule & Suhandi (1993) dalam tulisannya yang bertajuk. Guidelines for Community-based Ecotourism Programs, Lessons from Indonesia in Ecotourism : A Guide for Planners & Managers, ekowisata berbasiskan masyarakat adalah usaha di bidang ekowisata yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat (Warta KEHATI, 1998). Pengertian ini menekankan bahwa hendaknya masyarakat peduli pada sumber daya alamnya agar bisa memperoleh pendapatan dari ekowisata dan kemudian memanfaatkan penghasilan tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pengertian ini juga mencakup konservasi, kegiatan bisnis dan pengembangan masyarakat.

Dalam setiap usaha ekowisata berbasiskan masyarakat terdapat peserta (participants) dan mereka yang memperoleh manfaat (benefeciaries) baik secara langsung, maupun tidak langsung. Salah satu model terdiri atas sebuah kelompok yang disebut sebagai “panitia pengelola” yang mengawasi ventura/usaha ekowisata; dengan peserta langsung adalah para panitia pengelola dan para pekerja yang terlibat dalam pembuatan barang dan jasa yang ditawarkan; dan peserta tidak langsung adalah anggota masyarakat luas yang memilih anggota panitia pengelola proyek ekowisata dan yang secara tidak langsung memanfaatkan sumber daya alam yang digunakan dalam usaha ekowisata tersebut. Kelompok yang mendapat manfaat ekowisata secara langsung antara lain para karyawan, peghasil kerajinan tangan, pemandu wisata dan tukang angkut barang. Sementara yang merupakan kelompok yang tidak langsung memperoleh manfaat ekowisata adalah masyarakat umum yang mendapat keuntungan dari proyek pembangunan serta kegiatan pendidikan dan latihan yang didanai dari laba ekowisata.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata berbasiskan masyarakat adalah :

  1. Partisipasi; selayaknya ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan wisata. Namun, seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, gender dan terkadang pendidikan;
  2. Gender; kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan oleh pengelola proyek-proyek ekowisata yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya sulit dicapai sepenuhnya;
  3. Transparansi; adanya usaha ekowisata di suatu daerah mutlak menerapkan transparansi khususnya di bidang keuangan, mengingat hal itu dapat memicu perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan menciptakan kecemburuan serta kesenjangan sosial;
  4. Pengambilan keputusan; walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus sebagai panitia pengelola dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata;
  5. Proses perencanaan; membangun sebuah ekowisata di sebuah kawasan tak bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi keuntungan. Karena itu, sejak masa perencanaan, para pengelola sudah menentukan siapa “masyarakat” yang dimaksud, siapa yang berpartisipasi, siapa yang akan mengambil keputusan, bagaimana keuntungan akan diperoleh, seberapa besar investasi uang yang diperlukan, dan dari mana dana akan diperoleh.
  6. Promosi; hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pengelola dalam mempromosikan ekowisata yang dikelola kepada masyarakat luas. Diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya setempat sekaligus dapat menjadi suatu momentum untuk pemberitaan keunikan alam suatu wilayah ekowisata.

Mengenai Saya

Foto saya
menurut saya : ~ bae' ~ asyik ~ terbuka ~ pantang nyerah ~ agak bandel ~ keras ~ humoris dikit ~ pinter dikit tapi mungkin smuanya tergantung dari orang yang menilai.